JAKARTA?
Jakarta
adalah ibu yang kelelahan melihat pola anak anaknya yang terlalu nakal.
Kemacetan, polusi, banjir dan segala kriminalitas di dalamnya tidak
membuat anak-anak yang tinggal Jakarta menjadi kapok. Barangkali kota
ini pelan-pelan telah mengajarkan penduduknya untuk menjadi bebal.
Menjadi kebal terhadap penderitaan yang ditumpuk dari hari ke hari. Ia
menjadi candu yang membuat penduduknya menjadi masokis, menyukai luka
juga penderitaan.
Tapi
pernahkah kamu jatuh cinta pada Jakarta? Pada setiap detik kebisingan
dan rasa panas peluh yang bercampur aroma bacin keringat beribu orang?
Pada hujan yang turun dan meluapkan sampah juga beragam penyakit dari
kulit tikus tikus selokan yang menjijikan? Aku pernah. Barangkali pada
satu hari, ketika semua itu adalah metafor, kota ini adalah mercusuar
hidup yang memberikan mereka yang jatuh cinta cahaya.
Untuk kemudian dibuat hancur menabrak karang.
Tapi
bukankah Jakarta adalah kota yang mengajarkan kita tentang cara
bertahan hidup. Tentang cara menghadapi penggusuran,
demonstrasi, kemacetan dan juga patah hati. Ada terlalu banyak hal yang
diberikan kota ini namun gagal dipahami dan disyukuri karena buta.
Barangkali anda perlu naik kereta di pagi hari, merasakan desakan dari
kiri, kanan, depan dan belakang. Perihal memandangi wajah kantuk yang
berdiri sambil terpejam, mengingat kasur yang beberapa saat lalu ia
tinggalkan.
Dalam
kereta itu kita belajar tentang rimba raya. Dari Stasiun Bogor sampai
Stasiun Jakarta Kota. Mereka yang menghindari hingar bingar dengan
merayakan kesunyian dalam kantuknya. Mengutuki rasa lelah yang merambati
punggung dan tangan yang mulai kebas karena harus bergelantungan di
Kereta Api. Wajah wajah murung itu akan mengajarkanmu rasa bersukur.
Tentang bagaimana semestinya hidup dijalani, sepedih dan sekeras apapun
itu.
Atau
kau mungkin bisa belajar tentang kekacauan dan keteraturan di Blok M.
Terminal dan muara segala ketercerabutan manusia. Mereka yang mengais
harapan dan mereka yang kehilangan harapan. Mereka yang belajar tentang
arah dan tujuan di Jakarta. Mereka yang bergelantungan di Metro Mini dan
Kopaja. Mereka yang mesti bertahan untuk tidak tertidur di Mayasari
bakti. Mereka yang harus berebut naik dan berebut turun.
Apa
yang lebih puitis dari Blok M? Ia adalah jagat pramudita para
penghuninya. Sebuah inti yang mengajarkanmu sedikit tentang wajah
Jakarta. Bahwa di kota ini kau akan berujung menjadi dua hal, pemenang
atau pecundang. Mereka yang hanya mampu berkhayal atau mereka yang
menjalani mimpi-mimpinya. Barangkali di sudut trotoar dan macetnya aspal
akibat pembangunan jalan tol yang tak berguna itu kamu akan belajar
tentang kehilangan.
Cinta
di Jakarta, seperti kaya WS Rendra, barangkali seperti orang-orang
miskin di jalan. Mereka yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di
dalam pergulatan, yang diledek oleh impian. Tapi barangkali kamu bisa
merayakan cinta dengan cara yang agung di Jakarta. Bukan
dengan meratap dan berdoa di rumah rumah ibadah. Tapi di angkutan
angkutan umum, di tengah keramaian dan di antara segala kesumpekan yang
kamu rasakan.
Pernahkah
kamu duduk di bagian belakang Trans Jakarta? Ketika hujan dan saat
macet terjadi? Ketika air hujan di kaca jendela Trans Jakarta berubah
menjadi fragmen-fragmen cahaya yang bulat namun rapuh? Ketika AC
kendaraan itu semakin dingin dan kamu merenungi hidup yang kepalang
mengerikan? Tentang perpisahan dan juga tentang kehilangan? Di bagian
belakang Trans Jakarta itu kamu akan menemukan kesalihan yang gagal
diberikan oleh doa.
Cobalah
duduk di bagian belakang Trans Jakarta. Lalu dengarkan segala lagu
kesukaanmu. Jika kau tak punya cobala mendengar Tulus – Sepatu atau
Maliq and D’Essentials – Coba Katakan. Tidak perlu terlalu keras,
secukupnya saja, sebagaimana telingamu mendengar dan orang di sebelahmu
tidak mampu menikmatinya. Sesap perlahan-lahan suara yang datang, maknai
liriknya lalu pandangi kaca buram Trans Jakarta dan langit malam yang
penuh hujan.
Jakarta
adalah sebuah kota yang menguatkanmu. Barangkali ketika kau benar benar
tertekan dan butuh sedikit rimbun tanaman, Taman Suropati dan Taman
Ayodya. Di sini kamu bisa percaya bahwa kemanusiaan di Jakarta masih
ada. Bahwa Tahu Gejrot dan segelas es Nutrisari bisa jadi camilan yang
membebaskan. Ia tidak perlu mahal. Ia hanya perlu dinikmati dengan orang
yang tepat. Orang yang mencintaimu tanpa pamrih dan tanpa syarat.
Jakarta
bukan sekedar barisan beton bernama mall dan perkantoran. Jakarta lebih
daripada itu. Kamu akan belajar dengan sangat keras bahwa Jakarta
adalah nama lain dari belantara perpisahan dan pertemuan. Barangkali
juga ia mengajarkanmu untuk berdiri tegak setelah jatuh dan dikalahkan
keadaan. Kota ini akan mengajarkanmu untuk memilih. Disakiti dan lantas
berdiri. Atau terlena akan manis cinta dan berujung kecewa.
Kamu
tidak perlu menangis. Jakarta bukan kota untuk mereka yang suka meratap
dan merayakan melankolia. Kota ini sayang adalah bau keringat dan mata
yang lelah. Datanglah ke Tanah Abang atau Pasar Senen untuk merayakan
ketergegasan. Mereka yang tidak punya waktu untuk menangisi hal hal yang
sentimentil. Kamu akan belajar untuk menjadi kuat, suka atau tidak
suka.
Di
Jakarta beberapa dari kita sedang menunggu untuk jatuh cinta lagi.
Sementara yang lain hanya bisa pasrah merelakan kehilangan. Seperti
menikmati Jakarta pada musim hujan sambil mendengar lagu Efek Rumah Kaca
– Desember. Ia menghadirkan imaji, barangkali sebuah janji. Seperti
keriuhan pertikaian yang tidak bisa benar-benar dihentikan. Seperti
pertemuan yang tidak direncanakan.
Jakarta,
seperti yang sudah kukatakan, adalah seorang ibu yang lelah. Tapi
seperti seluruh ibu yang maha hebat, ia selalu memberi kehangatan yang
tidak kamu bayangkan. Di bagian belakang Trans Jakarta itu, kamu akan
belajar untuk merelakan. Barangkali kamu akan kembali menemukan. Di
jalan jalan macet antara Cawang hingga Cengkareng. Luapan air,
kemacetan, lampu merah dan hujan yang basah adalah puisi. Ia adalah
puisi bagi mereka yang mengerti.
Komentar
Posting Komentar